Patroli7 – Jepara.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan bahan bakar utama batu bara menghasilkan limbah sisa pembakaran yang terdiri dari abu terbang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash) yang juga lebih dikenal dengan singkatan FABA.
Diketahui, jumlah FABA yang meningkat seiring dengan kebutuhan PT. PLN sebagai pengguna batubara dalam negeri, dimana menurut data Kementerian ESDM kebutuhan tahun 2022 mencapai 119 juta ton, tahun 2023 sebesar 126 juta ton, tahun 2024 membutuhkan 140 juta ton dan tahun 2025 sebesar 128 juta ton.
Jumlah FABA yang terus mengalami peningkatan akan mendatangkan permasalahan lain, sehingga muncul penelitian-penelitian terkait pemanfaatan FABA terutama di bidang konstruksi, (dikurip dari E-magazin, oleh Dyah Pratiwi Kusumastuti, Dosen Fakultas Teknologi Infrastruktur dan Kewilayahan.
Namun pemanfaatan FABA juga menjadi polemik terkait kesehatan. Hal ini mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014
mengenai Pengelolaan Limbah Bahan.
Sebagaimana dilansir dari media lumbunginformasi.id, dalam Permohonan Pemerintah Desa (Pemdes)Tubanan, kepada PLN (Persero) IUK PLTU TJB dengan nomor surat : 413/120 tanggal 30/9/2024 kuota limbah yang diperlukan 50 m3, menurut DPD Kawali Indonesia Lestari, agar pemanfaatan limbah FABA tersebut dijadikan perhatian, dan harus ada kajian terlebih dahulu sebelum FABA tersebut digunakan,
Disampaikan, menurut peraturannya, pemanfaatan limbah dari PLTU TJB boleh, tetapi harus ada kajiannya dulu, berupa kajian lingkungan dan kajian kandungan FABA-nya, karena FABA masih katagori limbah B3, walaupun FABA tetap dapat dimanfaatkan secara terbatas. Jadi, FABA tidak boleh digunakan seenaknya.
Kawali sebagai lembaga independen yang peduli terhadap lingkungan dan rakyat kecil mempertanyakan kepada mereka dan instansi Pemda yang bertanggung jawab terhadap lingkungan. Apabila pihak pihak yang berkompeten tidak bisa mengambil tindakan, maka Kawali Indonesia Lestari akan mengambil tindakan seperti yang diatur dalam undang-undang.
Kukuh, selaku pimpinan K3 L PLTU TJB saat dikonfirmasi media 19/10/2024 menjelaskan, “Hal ini merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan pada tanggal 2 Februari 2021, yang menetapkan Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) bukan lagi merupakan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3),” jelasnya, kemudian untuk lebih jelasnya, Kukuh mempersilahkan awak media untuk bertanya kepada bagian Humas.
Ditempat terpisah, salah satu staf di lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (Y) saat dikonfirmasi awak media ini mengatakan, Terima kasih informasinya, dan akan kami sampaikan ke pimpinan,” jawab (Y).
Terkait polemik limbah FABA tersebut, salah satu aktivis yang enggan disebutkan namanya, (AS), nama inisial, menjelaskan, “Yang menjadi akar permasalahan, dampaknya jelas, PLTU tidak mampu mengelola Faba yang dihasilkan dalam jumlah sangat besar. Kita tahu, pemanfaatan FABA di Indonesia baru mencapai 0-0,96% untuk fly ash dan 0,05-1,98% untuk bottom ash,” kata (AS), Selasa (22/10/2024)
ia juga menambahkan, Karena hanya beberapa PLTU Nasional yang mengantongi izin pemanfaatan. Begitu pula dengan izin penimbunan dengan cara diurug, di fasilitas landfill B3 yang kapasitas tampungnya juga terbatas, sehingga sebagian besar Faba yang dihasilkan PLTU menumpuk di tempat yang tanpa kriteria penyimpanan limbah B3,” imbuhnya.
Lebih lanjut dijelaskan, FABA yang tidak dikelola dengan baik, justru lebih berbahaya bagi lingkungan dan masyarakat di sekitar PLTU.
Tumpukan Faba yang tidak dilindungi dari matahari, angin dan hujan, memungkinkan Faba termobilisasi ke media lingkungan dan dan memapar manusia yang berada di sekitar PLTU,” jelas AS.
Pemerintah Klaim Abu Batu Bara Bukan Limbah B3 dan sudah berdasarkan Kajian Ilmiah, itu sah sah saja. Tetapi perlu diingat, warga terdampak Abu PLTU harus tahu, jangan dibodohi, Debu, bukan seperti Cabe, begitu dimakan bisa langsung terasa pedas” pungkasnya.
(Tim Patroli7)